Sabtu, 13 November 2010

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Hari ini yang menjadi perhatian terbesar dari peran perusahaan dalam masyarakat telah ditingkatkan yaitu dengan peningkatan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dan masalah etika. Masalah seperti perusakan lingkungan, perlakuan tidak layak terhadap karyawan, dan cacat produksi yang mengakibatkan ketidak nyamanan ataupun bahaya bagi konsumen adalah menjadi berita utama surat kabar. Peraturan pemerintah pada beberapa negara mengenai lingkungan hidup dan permasalahan sosial semakin tegas, juga standar dan hukum seringkali dibuat hingga melampaui batas kewenangan negara pembuat peraturan (misalnya peraturan yang dibuat oleh Uni Eropa. Beberapa investor dan perusahaam manajemen investasi telah mulai memperhatikan kebijakan CSR dari Surat perusahaan dalam membuat keputusan investasi mereka, sebuah praktek yang dikenal sebagai "Investasi bertanggung jawab sosial" (socially responsible investing).
Banyak pendukung CSR yang memisahkan CSR dari sumbangan sosial dan "perbuatan baik" (atau kedermawanan seperti misalnya yang dilakukan oleh Habitat for Humanity atau Ronald McDonald House), namun sesungguhnya sumbangan sosial merupakan bagian kecil saja dari CSR. Perusahaan di masa lampau seringkali mengeluarkan uang untuk proyek-proyek komunitas, pemberian bea siswa dan pendirian yayasan sosial. Mereka juga seringkali menganjurkan dan mendorong para pekerjanya untuk sukarelawan (volunteer) dalam mengambil bagian pada proyek komunitas sehingga menciptakan suatu itikad baik dimata komunitas tersebut yang secara langsung akan meningkatkan reputasi perusahaan serta memperkuat merek perusahaan. Dengan diterimanya konsep CSR, terutama triple bottom line, perusahaan mendapatkan kerangka baru dalam menempatkan berbagai kegiatan sosial di atas.
Kepedulian kepada masyarakat sekitar/relasi komunitas dapat diartikan sangat luas, namun secara singkat dapat dimengerti sebagai peningkatan partisipasi dan posisi organisasi di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya kemaslahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibat terhadap seluruh pemangku kepentingan(stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal. Dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa diatas planet ini. Institusi yang dominan di masyarakat manapun harus mengambil tanggung jawab untuk kepentingan bersama. Setiap keputusan yang dibuat, setiap tindakan yang diambil, haruslah dilihat dalam kerangka tanggung jawab tersebut.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan?

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana cara perusahaan melakukan Corporate Social Responsibility.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ilmiah ini adalah :
1. Manfaat akademis
a. Sebagai informasi dan tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang mengkaji tentang Corporate Social Responsibility.
b. Agar penulis pada khususnya dan lingkungan akademis pada umumnya dapat memperoleh pemahaman mengenai penerapan Corporate Social Responsibility dalam sebuah perusahaan.

2. Manfaat praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan untuk merencanakan kegiatan operasionalnya serta dapat dijadikan masukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan agar tujuan perusahaan dapat tercapai.

1.5 Metodologi Penelitian
1.5.1 Metode Pengumpulan Data / Variabel
Dalam penulisan ilmiah ini metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh data adalah :
1. Studi Pustaka
Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari buku – buku yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility sehingga dapat membantu dalam menyusun penulisan ilmiah ini.
2. Observasi
Dalam hal ini, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan website www.google.com.
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Corporate Social Responsibility
Sebuah definisi yang luas oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) yaitu suatu suatu asosiasi global yang terdiri dari sekitar 200 perusahaan yang secara khusus bergerak dibidang "pembangunan berkelanjutan" (sustainable development) yang menyatakan bahwa:

" CSR adalah merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh keluarganya".

2.2 Pelaporan dan Pemeriksaan
Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik maka perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar CSR termasuk dalam hal:
• Akuntabilitas atas standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai standar John Elkington yaitu laporan yang menggunakan dasar triple bottom line (3BL)
• Global Reporting Initiative, yang mungkin merupakan acuan laporan berkelanjutan yang paling banyak digunakan sebagai standar saat ini.
• Verite, acuan pemantauan
• Laporan berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000
• Standar manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam aspek sosial. Sementara aspek lingkungan apalagi aspek ekonomi memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekedar "pemanis bibir" (suatu basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya konsep CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.
2.3 Alasan terkait bisnis (business case) untuk CSR
Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode "Empat belas poin balanced scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan. Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core subject) dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan isu-isu di setiap subjek inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur keberhasilan CSR.
Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000 responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand image-lah yang akan paling mempengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.
Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.
Secara umum, alasan terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari argumentasi di bawah ini:
Sumberdaya manusia
Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan memperjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan, terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji", "penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.
Manajemen risiko
Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar", baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun lingkungan yang semuanya merupakan komponen CSR pada perusahaan dapat mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut
Membedakan merek
Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara penjualan yang unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan terhadap merek, yaitu corporate social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM). Pada CSM, perusahaan memilih satu atau beberapa isu biasanya yang terkait dengan produknya yang bisa disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah sosial dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka merasa bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan CSM dan CRM-nya dengan baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu.
Ijin usaha
Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha diluar negara asalnya dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang baik dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat tinggi tidak dipersoalkan.
Motif perselisihan bisnis
Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan dimana akhirnya bisnis perusahaan dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis utama perseroan.














BAB III
KESIMPULAN

Corporate Social Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.

Kamis, 11 November 2010

ETIKA PROFESI AKUNTANSI

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
• Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
• Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
• Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
• Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
(1) Prinsip Etika,
(2) Aturan Etika, dan
(3) Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan : Bagaimana kinerja etika profesi akuntansi di Indonesia?
Batasan : Bagaimana kinerja etika profesi akuntansi di PT MSM/TTN ?

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kinerja etika profesi akuntansi di Indonesia khususnya di PT MSM/TTN.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penulisan ilmiah ini adalah :
1. Manfaat akademis
a. Sebagai informasi dan tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang mengkaji tentang etika profesi akuntansi.
b. Agar penulis pada khususnya dan lingkungan akademis pada umumnya dapat memperoleh pemahaman mengenai penerapan dan kinerja etika profesi akuntansi.

2. Manfaat praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan untuk merencanakan kegiatan operasionalnya serta dapat dijadikan masukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan agar tujuan perusahaan dapat tercapai.

1.5 Metodologi Penelitian
1.5.1 Metode Pengumpulan Data / Variabel
Dalam penulisan ilmiah ini metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh data adalah :
1. Studi Pustaka
Dalam hal ini, pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari buku – buku yang berkaitan dengan etika profesi akuntansi sehingga dapat membantu dalam menyusun penulisan ilmiah ini.
2. Observasi
Dalam hal ini, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan website www.google.com.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika

Dari asal usul kata, Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik Perkembangan etika yaitu Studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya.

Etika adalah Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dengan kata lain etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.


2.1.1 Fungsi Etika

1. Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan.
2. Etika ingin menampilkanketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
3. Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralism.

2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Etika :

1. Kebutuhan Individu
2. Tidak Ada Pedoman
3. Perilaku dan Kebiasaan Individu Yang Terakumulasi dan Tak Dikoreksi
4. Lingkungan Yang Tidak Etis
5. Perilaku Dari Komunitas

2.1.3 Sanksi Pelanggaran Etika :
1. Sanksi Sosial
Skala relatif kecil, dipahami sebagai kesalahan yang dapat ‘dimaafkan’
2. Sanksi Hukum
Skala besar, merugikan hak pihak lain.

2.1.4 Jenis-jenis Etika
1. Etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar
2. Etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial dibagi menjadi:
• Sikap terhadap sesama;
• Etika keluarga
• Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis, dokumentalis, pialang informasi
• Etika politik
• Etika lingkungan hidupserta
• Kritik ideologi Etika adalah filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang ajaran moral sedangka moral adalah ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkan dengan moral serta harus dipahami perbedaan antara etika dengan moralitas.

2.1.5 Menyelesaikan dilemma etika
1. Memperoleh fakta yang relevan
2. Mengidentifikasikan isu etika berdasarkan fakta tersebut
3. Menentukan siapa yang akan terkena pengaruh dari keluaran (outcome) dilema tersebut dan bagaimana cara setiap pribadi atau kelompok itu dipengaruhi
4. Mengidentifikasikan berbagai alternatif yang tersedia bagi pribadi yang harus menyelesaikan dilema tersebut
5. Mengidentifikasikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada setiap alternatif
6. Memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan

2.1.6 Kebutuhan Khusus Akan Kode Etik Profesi
1. Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya.
2. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya.

2.2 Perilaku Etika dalam Bisnis

Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan.
Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal, perdagangan dunia yang lebih bebas dimasa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun ke arena baru yaitu pasar bebas dimasa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh penguasa kita.
Jika kita ingin mencapai target ditahun 2000, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi pada tahun 2000 an dapat diatasi.

a. Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun 2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang kala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah
tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi, serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat diatasi.


2.3 Perilaku Etika dalam Profesi Akuntansi
Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu jasa assurance, jasa atestasi, dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure). Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut auditor independen, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi yang lain dengan, tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
Profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan-perusahaan, sehingga masyarakat keuangan memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi.

Laporan Audit
Laporan audit merupakan alat yang digunakan oleh auditor untuk mengkomunikasikan hasil auditnya kepada masyarakat. Oleh karena itu, makna setiap kalimat yang tercantum dalam laporan audit baku dapat digunakan untuk mengenal secara umum profesi akuntan publik.
Laporan audit baku terdiri dari tiga paragraf, yaitu paragraf pengantar, paragraf lingkup, dan paragraf pendapat. Paragraf pengantar berisi objek yang diaudit oleh auditor dan penjelasan tanggung jawab manajemen dan tanggung jawab auditor. Paragraf lingkup berisi pernyataan ringkas mengenai lingkup audit yang dilaksanakan oleh auditor, dan paragraf pendapat berisi pernyataan ringkas mengenai pendapat auditor tentang kewajaran laporan keuangan auditan.
Paragraf pendapat digunakan oleh auditor untuk menyatakan pendapatnya atas kewajaran laporan keuangan auditan, berdasarkan kriteria prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia dan konsistensi penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam tahun yang diaudit dibanding dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam tahun sebelumnya. Ada empat kemungkinan pernyataan pendapat auditor, yaitu:
1. auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion);
2. auditor menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion;
3. auditor menyatakan pendapat tidak wajar (adverse opinion);
4. auditor menyatakan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion atau no opinion).
Standar umum mengatur persyaratan pribadi auditor. Kelompok standar ini mengatur keahlian dan pelatihan teknis yang harus dipenuhi agar seseorang memenuhi syarat untuk melakukan auditing, sikap mental independen yang harus dipertahankan oleh auditor dalam segala hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan perikatannya, dan keharusan auditor menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
Ada tiga tipe auditor menurut lingkungan pekerjaan auditing, yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern. Auditor independen adalah auditor profesional yang menjual jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya. Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.
Ada tiga tipe auditing, yaitu audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional.


Tipe Audit dan Auditor
Ada tiga tipe auditing, yaitu audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan audit operasional. Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Audit kepatuhan adalah audit yang tujuannya untuk menentukan kepatuhan entitas yang diaudit terhadap kondisi atau peraturan tertentu. Audit operasional merupakan review secara sistematik atas kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dengan tujuan untuk; (1) mengevaluasi kinerja, (2) mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan, (3) membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut
Ada tiga tipe auditor menurut lingkungan pekerjaan auditing, yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern. Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya. Auditor pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah, yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor intern adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta), yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, dan menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

2.4 Etika Profesional Profesi Akuntan Publik
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik.

2.5 Aturan Etika Profesi Akuntansi IAI

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. .
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan terse but terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
• Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
• Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
• Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian: (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Pernyataan Etika Profesi yang berlaku saat ini dapat dipakai sebagai Interpretasi dan atau Aturan Etika sampai dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.
Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.
Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan. Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semuakegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
3. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

2.6 Skandal PT MSM DAN TTN Ditolak

Disetujuinya AMDAL PT MSM/TTN oleh tim amdal pusat jelas merupakan ujung dari spiralisasi skandal hukum lingkungan yaitu bermuaranya berbagai skandal hukum yang dilakukan sebelumnya (1986-2007) yaitu lahirnya eksistensi super-versi di atas hukum Indonesia. Yaitu Kontrak Karya diperlakukan lebih tinggi derajatnya dari konstitusi negara.
Dalam hal ini, tatanan hukum Indonesia, termasuk sumber hukum (konstitusi) diperlakukan sebagai sub-versi yang harus mengintegrasikan diri terhadap ketentuan-ketentuan kontrak karya, sang super-versi. Jeleknya, pasal-pasal dalam kontrak karya jelas menyatakan bahwa perusahaan pemegang kontrak karya wajib tunduk terhadap hukum Indonesia.
Hal ini diduga disebabkan oleh dominannya budaya suap dan/atau korupsi di tingkat pemerintahan. Oleh karenanya, sangat mengarah pada logika hukum tentang adanya tindak pidana okupasi (occupational crime) dalam bentuk jejaring yang di-”drive” oleh pihak yang paling diuntungkan. Dalam hal ini, tampak berlangsung skema kejahatan kerah putih (white colar crime) oleh pejabat-pejabat negara. Dalam situasi yang berbeda (negara-negara dunia ketiga), biasanya politik kekuasaan dan politik hukum memainkan kejahatan ini untuk kepentingan penaklukkan oposisi.
Sementara di daerah-daerah demokrasi, kejahatan ini dilakukan untuk kepentingan mafia. Keduanya sama yaitu anti-hukum (abuse of power) yang lazim disebut sebagai state organized crime. Dalam dimensi ini tak hanya hukum yang diabaikan tetapi juga konstitusi negara dan hak asasi manusia (HAM).
Aktor-aktor yang diduga terlibat teridentifikasi dimulai dari oknum-oknum kepala desa serta tokoh-tokoh masyarakat yang diiming-iming proyek comdev di wilayah lingkar tambang dan berbagai perpanjangan tangan perusahaan (MSM/TTN) di wilayah grass root; Aktor-aktor ini tampak dikuatkan oleh berbagai LSM tambang. Jejaring ini terdeteksi berlangsung secara vertikal ke tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga ke pusat.
Yaitu oknum-oknum penting dalam pemerintahan hingga ke Departemen ESDM, oknum-oknum di Kementerian Lingkungan Hidup, oknum-oknum dalam Menko Perekonomian, oknum-oknum dalam Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, oknum-oknum dalam Menko Politik Hukum dan Keamanan, dan oknum-oknum dalam Sekretariat Negara. Di sisi paralel, terdeteksi adanya pengaruh dari oknum-oknum dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara dan Dewan Perwakilan Rakyat RI (Jakarta).
Menjadi pertanyaan, ”Siapakah tokoh di Indonesia yang mampu mengkoordinir sedemikian luas dan mengakar serta mampu memanfaatkan sistematika dan perangkat negara untuk tujuannya?” Tampak hal ini mengarah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, instansi pemberi izin sekaligus yang paling ngotot agar PT MSM/TTN segera beroperasi, walaupun tidak memilik amdal.
Pada tahap rencana operasi PT MSM/TTN ditolak oleh Gubernur Sulut, tampak berbagai upaya nekad dari ”sponsor-sponsor” utama PT MSM dan PT TTN. Hal ini nyata pada hal-hal sebagai berikut:
1. beberapa surat (mal-administrasi) yang diterbitkan oleh Menteri ESDM,
2. ”krasak-krusuk” DPRD Sulut ”harus” melakukan studi banding terhadap status hukum yang sudah jelas, dan
3. kencangnya isu bahwa Gubernur Sulut anti-investasi dari berbagai penjuru.

Sementara di tingkat akar rumput (masyarakat) lingkar tambang tampak digejolakkan dengan rekayasa ”kemarahan” masyarakat yang terancam tidak bisa lagi bekerja sebagai buruh di PT MSM/TTN. Seluruh mekanisme di atas, mengarah pada logika bahwa skenario ini memang jauh sebelumnya dirancang berdasarkan asumsi bahwa hukum dan regulasi di Indonesia mudah ”di atur” sesuai kepentingan dan ”selera” PT MSM/TTN (investor). Komposisi jejaring ini terputus mata rantainya ketika Gubernur Sulawesi Utara menyatakan menolak AMDAL PT MSM/TTN.
Dalam praktik ini, resistensi dari berbagai aktor (pelaku) jejaring state organized crime, adalah melalui lobby (bargaining), kampanye sistematis dengan memanfaatkan media massa, tekanan dan intimidasi terselubung yang luar biasa dan sistematis terhadap Gubernur Sulut dari segala dimensi, justru ketika gejolak sentimen publik terhadap langkah-langkah kriminalisasi masyarakat yang dilakukan oleh PT MSM mencapai momen puncaknya. Dalam hal ini, sikap menolak PT MSM oleh Gubernur Sulut sudah identik dengan sikap publik Sulawesi Utara.
Ancaman ekonomi (sekonyong-konyong) dengan adanya aktivitas pembuangan limbah di Minahasa Utara dan Bitung adalah:
1. PAD Sulut dari sektor perikanan adalah Rp 500-900 miliar per tahun. Berapakah jumlah kontribusi MSM/TTN yang dapat mengkonversi PAD ini secara jangka panjang?
2. Terdapat 45 perusahaan pariwisata yang akan gulung tikar. Berapakah nilai investasi MSM/TTN dibanding nilai gabungan 45 perusahaan pariwisata?
3. WOC 2009. Apakah ada hajatan lain misalnya World Tailing Conference (WTC) yang bisa mengangkat nilai jual pariwisata Sulut?
Menyorot Perilaku Menteri ESDM dalam Kasus Hukum PT MSM/TTN Surat Menteri Energi dan Sumber daya Mineral tanggal 7 Maret 2006 Nomor 0998/40/MEM.G/2006, intinya membolehkan PT MSM melakukan operasi penambangan dengan menggunakan Amdal kadaluarsa; Padahal berdasarkan kekuatan Undang-undang, AMDAL KADALUARSA dianggap tidak pernah ada; Selain itu, kewenangan Amdal bukanlah kewenangan Menteri ESDM melainkan kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Bahkan Menteri ESDM secara arogan menerbitkan surat tanggal 14 Februari 2007 Nomor 0723/30/MEM. G/2007 kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup yang intinya secara implisit mempengaruhi Menteri Negara Lingkungan Hidup agar mengabaikan sikap Gubernur Sulawesi Utara.
Hal ini adalah bukti nyata departemen ini adalah trouble maker (pemeran utama) dalam kasus skandal hukum PT MSM, sebagai tindak lanjut izin prinsip PT MSM yang diberikan sebelum PT MSM berbadan hukum (1986), melanggar pasal 12 UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan.
Dalam hal ini, Menteri ESDM telah dan sementara melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menteri ESDM mengabaikan (melanggar) UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan khususnya pasal 12.
2. Menteri ESDM secara nyata dengan alasan investasi mengabaikan (melanggar dan/atau mendorong Komisi Amdal Pusat untuk melanggar) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Amdal, khususnya pasal 16 ayat (4) PP 27/1999.
3. Menteri ESDM mengabaikan resistensi yang sangat massif dari rakyat Sulawesi Utara terhadap rencana ditaruhnya 10 juta metrik ton limbah yang potensial sebagai limbah B3 (bahan beracun berbahaya) di atas pegunungan Tokatidung yang mengancam kualitas hidup dan kulitas kesehatan masyarakat puluhan desa di wilayah dataran rendah dan pesisir.
4. Menteri ESDM”mengobok-obok” hal-hal yang status hukumnya telah sangat jelas hanya untuk hal-hal sumir dan ”berbau” KKN untuk kepentingan PT MSM/TTN. Menteri ESDM harusnya dituduh menyalahgunakan jabatan (abuse of power) yaitu dengan sengaja menciptakan keresahan di masyarakat yang tak berujung pangkal, hanya demi membela PT MSM dan PT TTN secara tidak patut dan melawan hukum.
5. Telah cukup banyak kasus di Indonesia yang dilahirkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Departemen Pertambangan) Republik Indonesia sebagai instansi yang memberi izin (trouble maker) antara lainnya kasus Lapindo Brantas, kasus Buyat, kasus Freeport, dan berbagai kasus lainnya.Setelah izin-izin yang diterbitkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata sangat bermasalah bagi rakyat Indonesia, justru tak tampak adanya tanggungjawab dari Departemen ESDM sebagai (pencipta bencana).
6. Menteri ESDM memelintir esensi masalah dan cenderung membohongi publik dengan mengintimidasi berbagai pejabat negara bahwa jika PT MSM/TTN tidak beroperasi, maka pemerintah RI akan dituntut di Arbitrasse Internasional. Melihat jumlah (kuantitas) dan kualifikasi skandal hukum yang melibatkan PT. MSM dan PT. TTN di Indonesia, membuat PT MSM dan PT TTN tidak memiliki cukup alasan dan dasar untuk membawa persoalan penolakan ini di Arbitrase Internasional. Malah semestinya PT MSM/TTN-lah yang bisa dituntut di Arbitrase Internasional oleh pemerintah RI. Akan tetapi, tampaknya Menteri ESDM justeru lebih cenderung memberikan alat dan/atau senjata bagi PT MSM/TTN untuk menyeret pemerintah RI ke Arbitrase Internasional dengan tujuan ”dikurasnya” uang negara dan beralasan ”gara-gara” Gubernur Sulut menolak investasi.
Akibat-akibat Menentang PT MSM/TTN KE Rakyat Kecil :
1. Dirampasnya tanah-tanah petani dari desa Pinenek Kecamatan Likupang Timur dan Kelurahan Pinasungkulan Kecamatan Bitung Utara dengan meminjam tangan oknum-oknum pejabat tanah dan oknum-oknum polisi. Dalam proses ini terdapat masyarakat petani yang dianiaya dan diproses kemudian dihukum sebagai kriminal padahal mereka mempertahankan hak-hak tanahnya;
2. Dirampasnya mata pencaharian nelayan 3 desa (Rinondoran, Kalinaun dan Batuputih) karena pembangunan dermaga tambang PT MSM di desa Rinondoran kecamatan Likupang Timur;
3. Diseretnya para pemrotes PT MSM ke pengadilan pidana yaitu didakwanya 3 warga masyarakat dan 8 orang nelayan dari desa Rinondoran, desa Kalinaun, dan kelurahan Batuputih karena memprotes pembangunan dermaga illegal PT MSM di Teluk Rinondoran; Ke 11 orang ini didakwa membakar pos PT MSM di dermaga MSM Rinondoran. Padahal menurut bukti 5 rekaman video (pengambilan gambar dari 5 angle), pelaku pengrusakan pos PT MSM bukanlah ke 11 orang tersebut; Diduga kuat perkara ini bisa berlangsung hanya untuk menghentikan penolakan masyarakat (membuat efek jera). Ringkasnya, karena ketika ada pengrusakan pos MSM oleh nelayan, maka tersangkanya haruslah tokoh-tokoh yang menolak pembangunan dermaga ini (juga menolak operasi PT MSM/TTN);
4. Timbulnya ketergantungan ekonomi masyarakat lingkar tambang PT MSM/TTN, seolah-olah tanpa beroperasinya PT MSM/TTN masyarakat akan mati kelaparan. Tiba-tiba muncul ”protes” rakyat yang merasa akan kehilangan mata pencaharian jika PT MSM/TTN tidak beroperasi. Padahal sebelumnya orang-orang ini memang ada pekerjaannya. Hal ini menjadi krusial karena mayoritas masyarakat lingkar tambang PT MSM menolak operasi PT MSM/TTN. Dalam berbagai insiden, persoalan ini telah mulai melebar mengarah pada ”konflik” horisontal yang diduga dikreasikan oleh manajemen PT MSM; Konflik horisontal terdeteksi telah mulai mendistorsi institusi-institusi tradisional, termasuk lembaga keagamaan (gereja) dan pendidikan (sekolah-sekolah) yang melibatkan anak-anak sekolah;
5. Terjadinya bencana alam (banjir lumpur) yang diduga disebabkan oleh operasi illegal PT MSM/TTN di pegunungan Tokatindung yang membuat lebih 400 warga desa Rinondoran menjadi pengungsi.

BAB III
KESIMPULAN

Kode Etik Profesi Akuntan Publik (sebelumnya disebut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik) adalah aturan etika yang harus diterapkan oleh anggota Institut Akuntan Publik Indonesia atau IAPI (sebelumnya Ikatan Akuntan Indonesia - Kompartemen Akuntan Publik atau IAI-KAP) dan staf profesional (baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI) yang bekerja pada satu Kantor Akuntan Publik (KAP).
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
• Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
• Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
• Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.